Jumat, 11 September 2009

ESTIMASI KEPADATAN POPULASI SATWA LIAR

Tujuan
Mengestimasi kepadatan populasi satwa di habitatnya

Alat dan Bahan
a. Populasi satwa di habitatnya
b. Binokuler
c. Kamera
d. Tallysheet

Metode Terkonsentrasi (Concentation Count)
Metode sensus ini dapat dilakukan pada berbagai jenis satwa liar yang mempunyai kehidupan berkelompok. Untuk menghindari terjadinya kesalahan dalam pendugaan populasi metode ini harus digunakan dengan hati-hati. Setiap jenis satwa liar mempunyai pola pergerakan yang berbeda-beda, sehingga sebelum dilakukan penghitungan perlu terlebih dahulu dilakukan pengamatan awal mengenai pola pergerakan satwa liar yang akan diteliti, dan kemudian dapat ditetapkan lokasi-lokasi yang sesuai dengan keadaan pergerakan dan kondisi lingkungannya. Sebagai contoh adalah satwa banteng yang setiap harinya secara tetap berada di padang rumput antara pukul 09.00-14.00, kemudian pada malam hari mengunjungi tempat minum pada pukul 21.00-24.00. Berdasarkan kondisi tersebut kita dapat melakukan survey populasi banteng di beberapa tempat tersebut (padang rumput dan tempat minum) dengan melakukan penghitungan jumlah individu yang dapat ditemukan di tempat-tempat tersebut.
Agar dapat diperoleh hasil yang mendekati kebenaran dalam pendugaan populasi dengan metode ini, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yakni:
1. Melakukan pengamatan pola pergerakan setiap unit wilayah jelajahnya, sehingga dapat dihindari terjadinya kesalahan pendugaan.
2. Melakukan pengamatan terhadap struktur populasi, serta tanda-tanda khas lainnya, untuk menghindari terjadinya penghitungan ulang (double counts).
3. Memperhatikan terjadinya kemungkinan adanya anggota populasi yang berada di dalam hutan, sehingga tidak dapat dihitung pada saat survei dilakukan.

Metode Garis Transek
Metode ini biasanya digunakan untuk sensus primata, burung dan herbivora besar. Garis transek meruakan suatu petak contoh dimana seorang pencatat berjalan sepanjang garis transek dan mencatat setiap jenis satwa liar yang dilihat baik jumlah maupun jaraknya dengan pencatat.
Metode transek ini dapat sekaligus untuk mencatat data dan beberapa jenis satwa. Wilayah yang dijadikan sampling dibagi menjadi beberapa jalur dengan jarak tiap jalur 1 km. Garis transek pada wilayah sensus biasanya dipetakan dalam peta topografi berskala 1 : 50.000. Petugas sensus berjalan secara serentak sesuai dengan arah jalurnya masing-masing. Pada saat berjalan, petugas mencatat jumlah satwa liar, jaraknya dengan petugas, umur, jenis kelamin dan perilakunya. Hasil yang diperoleh dibuat peta persebarannya.
Asumsi-asumsi yang harus dipegang dalam penggunaan metode ini adalah :
a. Satwa dan garis transek terletak secara random
b. Satwa tidak bergerak/pindah sebelum terdeteksi
c. Tidak ada satwa yang terhitung dua kali
d. Seekor satwa atau kelompok satwa berbeda satu sama lainnya. Seekor satwa yang terbang tidak mempengaruhi kegiatan satwa yang lainnya.
e. Respon tingkah laku satwa terhadap kedatangan pengamat tidak berubah selama dilakukan sensus.
f. Habitat homogen, bila tidak homogen dapat menggunakan stratifikasi.





















Gambar Metode Line Transek
Keterangan:
* Posisi pencatat
• Satwa yang terlihat
α Sudut pandang, sudut yang terbentuk antara arah transek dengan posisi satwa

Jumlah satwa yang terlihat (Z) = 6 ekor
Rata-rata jarak dengan pencatat (D) = 1xD1 +2xD2 +3xD3 = 30 m
Z
Rata-rata jarak terpendek (Y) = 1 x Y1 + 2 x Y2 + 3 x Y3 = 16 m
Z
Panjang transek (X) = 10 km
Luas Area (A) = 25 km2





Perkiraan Populasi
a. Metode King’s
Menggunakan rata-rata jarak dengan pencatat (D),
P0 = A x Z
2 x D
= 250 ekor
b. Metode Perpendicular Distance (Y)
Menggunakan rata-rata jarak dengan terdekat (Y),
P0 = A x Z
2 x Y
= 469 ekor
c. Faktor Konversi
Pada kenyataanya nilai Py akan lebih besar dibandingkan dengan PD sehingga diperlukan faktor konversi. Faktor konversi tersebut didapatkan dari persamaaan :
2D = 2Y
sin
Gates (1969) dan Hayne (1949) dalam Lavieren (1982) mendapatkan bahwa rata-rata sudut yang terbentuk = 32,70. Berarti D = 1,85 Y (sin 32,70 = 0,54)
sehingga PD = PY
1,85
d. Metode Webb’s
Menggunakan sudut antara pengamat dan satwa yang terlihat () dan jarak antara pengamat dan satwa (D). Penghitungan rata-rata jarak terpendek (Y) yaitu :
Y = D sin 
P = AZ
2 X D sin 
D sin  =  D sin ( )
Z Z






Tallysheet
Estimasi Populasi Dengan MetodeTerkonsentrasi
(Concentration Counts)
Lokasi pengamatan :
Species :

Lokasi Tanggal Jumlah banteng (ekor) Jumlah
Jantan dewasa Betina dewasa Anak





















Tallysheet
Estimasi Kepadatan Populasi Satwa Metode Transek Garis
(Line Transect)
Lokasi pengamatan :
Species :

No Titik ke.. Jarak dari nol Jumlah individu Jarak dari pengamat Jarak dari garis transek
Jantan Betina Anakan

















ACARA II
ANALISIS HABITAT SATWA


A. Tujuan :
1. Mengetahui tipe-tipe habitat populasi satwa
2. Mengetahui karakteristik habitat dan pengaruhnya terhadap populasi satwa
B. Dasar Teori :

Habitat
Habitat mempunyai pengertian umum seperti yang dikemukakan oleh Alikodra (1990). Habitat merupakan sebuah kawasan yang terdiri atas komponen baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biaknya satwa liar.
Satwa liar menempati habitat yang sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Habitat yang sesuai untuk satu jenis belum tentu sesuai untuk jenis yang lain, karena setiap satwa liar menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda (Dasman, 1981). Habitat mempunyai fungsi dalam menyediakan makanan, air, dan pelindung.

Komponen-komponen Habitat
Satwa liar menempati habitat sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya. Oleh karena itu, habitat suatu jenis satwa liar belum tentu sesuai untuk jenis lain. Habitat suatu jenis satwa liar mengandung suatu sistem yang terbentuk dari interaksi antar komponen fisik dan biotik. Sistem tersebut dapat mengendalikan kehidupan satwa liar yang hidup di dalamnya (Alikodra, 1990).
Shaw (1985) menjelaskan bahwa komponen habitat yang mengendalikan kehidupan satwa liar terbagi dalam 4 hal sebagai berikut:
1. Pakan (food)
Pakan merupakan komponen habitat yang paling nyata. Ketersediaan pakan berhubungan erat dengan perubahan musim terutama di daerah temperate dan kutub. Tiap jenis satwa mempunyai kesukaan untuk memilih pakannya. Kesukaan pakan ini berhubungan dengan palatabilitas dan selera.
2. Pelindung (cover)
Pelindung diartikan sebagai segala tempat dalam habitat yang mampu memberikan perlindungan dari cuaca, predator atau kondisi yang lebih baik dan menguntungkan.
3. Air (water)
Air dibutuhkan dalam proses metabolisme tubuh satwa. Kebutuhan satwa akan air bervariasi, ada yang tergantung air dan ada yang tidak. Ketersediaan air akan mengubah kondisi habitat sehingga langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan satwa.
4. Ruang (space)
Individu-individu satwa membutuhkan variasi ruang untuk mendapatkan cukup pakan, pelindung, air, dan tempat untuk kawin. Besarnya ruang tergantung ukuran populasi. Ukuran populasi tergantung besarnya satwa, jenis pakan, produktivitas, dan keragaman habitat.
Tipe Habitat
Dalam habitat terdapat tipe habitat, yaitu komponen-komponen sejenis yang mendukung sekumpulan jenis satwa lair untuk beraktivitas. Tipe-tipe habitat yang diperlukan oleh suatu satwa biasanya diidentifikasi dengan mengamati berbagai fungsinya, misalnya untuk makan atau bertelur.
Satwa memilih habitat yang tersedia dan sesuai untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Pemilihan diantara habitat yang cocok ini disebut habitat selection yang akan digunakan untuk kawin, makan dan istirahat. Pemilihan suatu habitat yang paling disukai disebut dengan habitat preference.
Untuk menentukan preference suatu habitat harus dilakukan studi lapangan dengan mengamati penggunaannya. Pemilihan dapat ditentukan dengan membandingkan dengan habitat lain yang tersedia. Untuk meyakinkan preference dapat dilakukan dengan menguji karakteristik populasi, seperti kesuksesan perkawinan dan parameter reproduksi yang lain atau survival (mempertahankan diri) yang ada hubungannya dengan pemanfaatan habitat (habitat use).


Struktur vegetasi
Vegetasi merupakan kumpulan individu-individu tumbuhan yang membentuk suatu kesatuan yang saling bergantung satu sama lain (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974). Menurut Borbour et al. (1980), vegetasi terdiri dari semua jenis tumbuhan yang ada dalam suatu wilayah.
Dalam penelitian tentang ekologi vegetasi, komposisi dan struktur vegetasi sangat diperlukan. Struktur vegetasi merupakan susunan vertikal dan distribusi spasial dari tumbuh-tumbuhan dalam suatu komunitas (Kimmins dalam Haryanto, 1995). Dansereu (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974) menjelaskan bahwa struktur vegetasi merupakan pengaturan ruang hidup suatu individu yang unsur utamanya adalah bentuk pertumbuhan (growth form), stratifikasi, dan penutupan tajuk.
Struktur vegetasi dapat dikategorikan paling tidak dalam 5 tingkatan (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974), yaitu: kenampakan vegetasi (physiognomy), struktur biomasa (biomass structure), struktur bentuk tumbuh (life form structure), struktur pembungaan (floristic structure), dan struktur tegakan (stands structure). Kelima tingkatan struktur vegetasi tersebut secara hirarki terpadu, dimana tingkatan pertama mancakup yang kedua, yang kedua mencakup yang ketiga, demikian seterusnya.
Bentuk-bentuk pertumbuhan (growth form) dapat dinyatakan berdasarkan batas ketinggiannya, misalnya untuk komunitas hutan, menurut Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974), terdapat 4 tingkatan:
1. Lapisan pohon (tree layer)
Tingkatan ini terdiri atas semua tumbuhan yang tingginya lebih dari 5 m. Pada hutan-hutan tinggi, lapisan ini dapat dibagi lagi menjadi 2, 3 atau bahkan 4 lapisan.
2. Lapisan semak (schrub layer)
Tingkatan ini terdiri atas tumbuhan dengan tinggi antara 0,5 m sampai 5 m. Lapisan ini dapat dibagi lagi menjadi S1 (tinggi 2-5 m) dan S2 (tinggi 0,3 atau 0,5 m sampai 2 m).
3. Lapisan herba (herb layer)
Pada tingkatan ini, tumbuhan yang ada adalah dengan tinggi kurang dari 0,3 atau 0,5 m atau kurang dari 1 m. Seperti tingkatan di atas, lapisan ini dapat dibagi lagi menjadi H1 atau lapisan herba tinggi (tinggi lebih dari 0,3 m), H2 (tinggi 0,1 –0,3 m), dan H3 atau lapisan herba rendah (tinggi kurang dari 0,1 m).
4. Lapisan lumut dan lichenes
Merupakan lapisan yang terdiri dari berbagai jenis tumbuhan lumut.

C. Cara Kerja :
1. Penentuan tipe habitat factor lingkungan habitat satwa liar
Tipe habitat Rusa Bawean ditentukan berdasarkan keadaan vegetasi yang ditemui di lapangan. Satwa liar dapat menempati tipe habitat yang beranekaragam, baik hutan maupun bukan hutan, seperti tanaman perkebunan, tanaman pertanian (sawah dan ladang), pekarangan, gua, padang rumput, savana dan habitat perairan (rawa, danau, sungai, laut, terumbu karang, dan estuari) (Alikodra, 1990).
Faktor lingkungan masing-masing tipe habitat dideskripsikan dengan mencatat beberapa informasi penting meliputi: kelerengan, suhu, kelembaban, arah angin, kecepatan angin, sumber air, kerusakan habitat, aktivitas manusia, predator/kompetitor, dan hal-hal menarik lainnya.
Alat:
- Kompas
- Klinometer
- Termometer
- Hygrometer
- Anemometer
- Tallysheet
- Binokuler
Bahan:
- habitat satwa liar
- factor abiotik di habitat satwa liar




2. Analisis vegetasi dengan metode kuadrat
Teknik kuadrat umumnya dipergunakan untuk untuk memperoleh keterangan mengenai bentuk komposisi (susunan) komunitas tumbuh-tumbuhan darat. Ukuran petak sample ditentukan berdasarkan ukuran dan kerapatan tumbuh-tumbuhan yang dirisalah , serta dapat mewakili semua individu yang terdapat dalam lokasi penelitian. Karakteristik pohon harus dimasukkan di dalam kuadarat (Bonham, 1989 in Bookhout, 1996), dan memperhatikan : 1) distribusi pohon, 2) ukuran dan bentuk kuadrat, 3) jumlah ulangan pengamatan yang bisa mewakili pendugaan kepadatan. Setelah menetapkan vegetasi yang akan dihitung, pengamat harus menetapkan ukuran dan bentuk kuadrat yang akan digunakan. Pada umumnya bentuk sample yang digunakan adalah persegi panjang, persegi, dan lingkaran. Persegi panjang memiliki keliling per-unit yang paling besar dan mempunya bagian tepi yang lebih sehingga akan berpengaruh pada pemilihan pohon tepi apakah masuk ke dalam plot atau tidak. Bentuk lingkaran sering lebih efisies untuk digunankan dibandingkan dengan bentuk persegi atau persegi panjang. Sample lingkaran juga efektif untuk mengkarakteristikan kondisi sekitar, seperti sarang, tempat makan, atau tempat istirahat. Ukuran kuadarat lingkaran yang sering digunakan adalah 0.01-0.1 ha, dengan jari-jari 5.6-17,8 m. Telah banyak studi dilakukan untuk menentukan ukuran kuadrat, tetapi belum ada racomendasi yang konsisten untuk digunakan dalam berbagai tingkat hidup seperti herba, semak, dan pohon. Meskipun demikian ukuran plot sample kuadrat pesegi yang sering digunakan dalam analisis vegetasi adalah 1 x 1 m untuk rumput, 2 x 2 m untuk semai dan tumbuhan bawah (tinggi dibawah 1.5 m), 5 x 5 m untuk sapihan (diameter dibawah 10 cm dan tinggi diatas 1.5 m), 10 x 10 m untuk tiang (diameter 10-20 cm) dan 20 x 20 m untuk pohon (diameter diatas 20 cm).









Gambar plot kuadrat persegi
Alat :
- Kompas
- Rollmeter
- Tallysheet
- Pita diameter
- Hagameter
- Patok
Bahan :
- vegetasi di habitat satwa liar

3. Identifikasi pakan melalui analisis kotoran
Analisis kotoran digunakan untuk menduga pakan satwa berdasarkan identifikasi mikroskopis pecahan epidermis dalam kotoran. Jenis tanaman diketahui dengan perbandingan identifikasi pecahan epidermis dalam kotoran dengan epidermis tanaman pembanding. Komposisi pakan satwa diketahui dengan analisis kuantitatif dari jumlah dan ukuran fragmen epidermis. Analisis kuantitatif dilakukan dengan modifikasi teknik penghitungan analisis vegetasi dan hasilnya adalah nilai penting tiap jenis pakan (Bhadresa, 1992 dalam Moore dan Chapman, 1992).
Kotoran (faecal) adalah hasil akhir dari proses pencernaan yang dibuang dengan proses defaksi. Pada beberapa satwa seperti badak jawa, kotoran digunakan sebagai tanda wilayah jelajah aktivitasnya. Rusa Timor memanfaatkan kotoran sebagai tanda wilayah untuk kelompoknya (Shigeki, 1992).
Beberapa studi kehidupan satwa liar sering memanfaatkan kotoran sebagai pertunjuk keberadaaan satwa yang diteliti. Kotoran yang dikeluarkan oleh satwa memiliki bentuk yang bermacam-macam. Tiap kelompok satwa memiliki ciri dan bentuk tersendiri dari kotorannya. Bentuk dan ukuran dapat menentukan kelompok satwa atau jenis satwa (Shigeki, 1992):
1. Karnivora : ujung kerucut, pangkal bulat.
2. Herbivora famili cervidae : bulat menyerupai butiran.
3. Herbivora famili bovidae : bulat menyerupai kue.
Storr (1960) mengatakan bahwa analisis kotoran cocok digunakan untuk mengetahui pakan satwa herbivore. Ia melakukan studi mengenai analisis kotoran dengan menggunakan satwa herbivore khas Australia yaitu quokka (Setonix branchyrus) di Pulau Rottnes. Analisis kotoran untuk satwa herbivore biasanya menggunakan teknik mikroskopik sedangkan untuk satwa karnivora biasanya menggunakan pengamatan makroskopik.
Identifikasi Epidermis
Identifikasi epidermis adalah kegiatan untuk menentukan species atau varietas suatu jenis tumbuhan dengan menggunakan karakteristik anatomi epidermis. Pecahan-pecahan ayng terdapat dalam kotoran tidak berubah dan mempunyai karakteristik tertentu yang masih bisa didiagnose untuk diidentifikasi setelah dilakukan pemanasan (Takatsuki, 1978).
Storr (1960) menyebutkan bahwa ada lima garis besar karakteristik yang bisa digunakan untuk melakukan identifikasi. Kelima karakteristik tersebut adalah :
a. Reaksi Penodaan
Semua preparat yang mengandung pecahan-pecahan epidermis diwarnai dengan gentian violet atau zat warna lain. Perbedaan kerapatan noda seringkali bisa menolong identifikasi. Pada jenis tertentu hanya dinding sel vertical saja yang dapat diwarnai dan mempunyai kenampakan memanjang. Kebanyakan skerophyl bisa diwarnai secara jelas dan mantap, sedangkan jaringan epidermal hanya terwarnai bayangannya. Warna dan noda tersebut digunakan untuk mengadakan suatu diagnosa.
b. Orientasi
Khusus bagi monocotyledonae dicirikan oleh orientasi tertentu yang nyat dari sel, pada kebanyakan jenis tumbuh-tumbuhan pengujian sel epidermis disusun dalam baris parallel melalui urat-urat dan sumbu daun. Hal tersebut jarang teramati pada dicotylodonae.
c. Bentuk dan ukuran sel (shape and size or ordinary cell)
Epidermis dapat dideskripsikan melalui bentuk dan ukuran dinding sel. Pada dicotyledonae sel memiliki tipe hexagonal dengan perbedaan ukuran dari kecil ke besar. Pada monocotyledonae sel berbentuk lonjong memanjang tegak (elongatesrectangular). Perbedaan ukuran sel bisa merupakan tanda untuk mengadakan diagnosa. Lebar dinding sel bervariasi antara 1-10 mikron, bisa lurus, ramping atau berombak.
d. Stomata
Stomata merupakan sel tambahan yang sering tampak pada daun. Stomata bisa diidentifikasi untuk jenis tumbuhan tertentu melalui bentuk, ukuran, letak serta kerapatannya. Pada umumnya stomata memiliki bentuk dan ukuran yang lebih konstan daripada sel-sel epidermis. Pada dicotyledonae stomata mempunyai bentuk tak teratur dan tak menentu, biasanya stomata yang terjadi mencuat dari epidermid. Stomata pada monocotyledonae terdapat pada tempat-tempat tertentu saja diakhir sel atau dalam bentuk barisan.
e. Tricomata (tricomes)
Tricomata tumbuh keluar dari epidermis, secara berangsur-angsur gugur dan umumnya mempunyai kegunaan yang lebih sedikit daripada stomata. Tricomata biasnya berbentuk rambut, dan umumnya vasikuler pada tempat-tempat berair. Pada beberapa jenis tertentu tricomata hanya merupakan papilla yang menonjol dari epidermis, tunggal, tetapi pada famili tertentu boisa radial multiseluler.
Selain ukuran dan bentuk epidermis, kombinasi dan susunan juga merupakan kriteria yang efektif. Semakin besar ukuran epidermis maka semakin mudah identifikasi jenis dilakukan. Tetapi jika hanya pecahan-pecahan saja digunakan untuk identifikasi dikhawatirkan akan terjadi kekaburan pada evaluasinya. Untuk itu pecahan-pecahan epidermis yang akan diidentifikasikan harus mempunyai ukuran minimum sebesar 0,5 mm (Takatsuki, 1978).

Analisisi Kotoran
Alat
Alat-alat yang digunakan dalam melakukan anlisis kotoran adalah sebagai berikut :

- kaca preparat
- cover dip
- pipet ukur
- pinset
- gelas bekker
- mikroskop stereokopis
- kamera mikroskop
- petridish
- timbangan
- penumbuk
- ayakan
- oven dried
- obyekmikromete

Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam analisis kotoran adalah :

- Asam Nitrat 10%
- Aquadest
- Alkohol analisis 70-90%
- xylol
- safranin
- Potasium Kromat 10%
- gliserin
- Canadian Balsam
- sampel tanaman
- kotoran satwa

Prosedur Pelaksanaan
Langkah kerja analisis kotoran rusa adalah sebagai berikut :
a. Pengumpulan kotoran dicari diseluruh seluruh kawasan. Kotoran dikumpulkan dalam keadan basah dan diberi label. Untuk kotoran herbivora besar (ex: banteng) sebelum dikoleksi kotoran dibagi menjadi 6 bagian sama rata, kemudian dari tiap bagian diambil secukupnya untuk sampel. Untuk menghindari serangan jamur dan mikrobia, kotoran dijemur dibawah sinar matahari selama 3 hari. Setelah kering benar kotoran diopen dalam laboratorium.
b. Pengumpulan tumbuhan pakan dengan tujuan indentifikasi jenis dan bahan reperensi epidermis.
c. Analisis kotoran dilaksanakan dilaboratorium pengelolaan suaka alam Fakultas Kehutanan UGM. Metode analisis kotoran yang digunakan adalah metode penceraaan asam nitrat yang telah dikerjakan Storr tahun 1960. Djoko (1992) menggunakannya untuk mengidentifikasi pemilihan pakan akan rusa jawa. Pratiwi dan Komaradin (1991) menggunakan metode ini untuk banteng dan rusa.
Langkah kerja analisis kotoran adalah sebagai berikut:
1. Kotoran dipanaskan dalan open dengan suhu 70°C selama 2x 24 jam, sehingga kering dan bebas dari cendawan pembusuk.
2. Kotoran yang telah kering ditumpuk sampai halus.
3. Kotoran yang telah halus ditimbang sebanyak 1,5 gram, kemudian dimasukan kedalam tabung reaksi yang berisi 10 ml asam nitrat 10% dan 10 ml potasium kromat 10%.
4. Tabung-tabung reaksi dipanaskan didalam air mendidih diatas kompor listrik selama 10 sampai 15 menit sampai kutikula mengelupas dari sel epidermis.
5. Setelah pemanasan tabung reaksi didinginkan,kemudian larutan dinetralkan dengan aquadest.
6. Larutan dituang dalam petridish dan ditetesi zat warna safranin. Sampel tersebut siap menjadi preparat.
7. Dalam 1 petredis diambil 10 ulangan secara random dengan menggunakan pipet 0,25 ml.
8. Unit sampel dipindahkan diatas kaca preparat, ditetesi gliserin, dan ditutup dengan gelas penutup (deck glass).
9. Preparat siap diamati dan merupakan preparat semi permanen.
Pembuatan referensi epidermis dilakukan di Laboratorium Satwa Liar Fakultas kuhutanan UGM. Langkah kerjanya sebagai berikut:
1. Daun dipotong dengan ukuran 1 x 1 cm2 (untuk daun dengan ukuran besar).
2. Potongan daun dimasukan ketabung reaksi yang berisi 10 ml asam nitrat 10 % dan 10 ml potasium kromat 10%.
3. Selanjutnya langkah kerja seperti ananlisis proses no.4,5 dan 6.
4. Preparat diletakkan diatas kaca preparat dan dikupas dibawah mikroskop.
5. Pengupasan epidermis dengan bantuan jarum preparat berujung pipih dan runcing.
6. Dibedakan kupasan epidermis atas dan epidermis bawah.
7. Kupasan dipindahkan diatas kaca preparat, ditetesi gliserin dan ditutup dengan kaca penutup.

Analisis Kuantitatif
Pelaksanaan analisis Kuantitatatif pragmen epidermis dalm kotoran dapat dilakukan seperti analisa vegetasi (Bhadresa Dalam Moore Chapmer : 1992; Komaruddin, 1993).proses kerja dilakukan mengikuti proses sebagi berikut:
1. Jumlah dan jenis pragmen epidermis yang berbeda dalam preparat kotoran dihitung untuk menaksir komposisi pakan
2. Penghitungan frekuensi epidermis dilakukan dibawah mikroskop.
3. Estimasi ukuran dan luas pecahan epidermis.
4. Penghitungan luas fragmen epidermis dilakukan dengan menggunakan metode poin kuadrat (Point Quadrat). Penghitungan luas fragmen epidermis yang dilakukan mengacu pada poin quadrat yang telah dimodifikasi (Pratiwi.1992 dan Djuwantoko, 1994). Hasil penghitungan adalah INP jenis pakan satwa yang dianalisa. Teknik penghitungan tersebut adalah sebagai berikut:
Kerapatan = Jumlah pecahan epidermis dalam seluruh titik pandang
Kecepatan relatif (Kr) = Kerapatan jenis x 100%
Kerapatan total semua jenis

Dominansi = Jumlah surface/area suatu jenis dalam titik pandang
Dominasi relatif (Dr) = Dominansi suatu jenis x 100%
Dominasi total semua jenis

Frequensi = Jumlah titik pandang yang berisi suatu jenis
Jumlah total titik pandang
Frekuensi relatif (Fr) = Frequensi suatu jenis x 100%
Frequensi total semua jenis
INP = Kr+Dr+ Fr

Analisis Proporsi Makan Dalam Berat Kering
Dengan data yang diperoleh dari analisis kuantitatif diatas apabila berat rata-rata sampel kotoran rusa diketahui, dapat dihitung proporsi makan dalam berat kering, cara penghitungannya adalah sebagai berikut:
k = W
A
Keterangan :
W = berat kering sampel herbarium suatu jenis dalam gram
A = surface area masing-masung jenis pakan dalam mm2
Sehingga :
x = p. k
k = indeks surface area dari masing-masing species pakan (gram/mm2)
P = penggandaan indeks surface area oleh nilai penutupan suatu species pakan
x = proporsi pakan dalam berat kering (gram)

Kemudian dapat dihitung proporsi relative pakan (xr), yang menunjukkan prosen proporsi suatu jenis pakan dalam sample kotoran :
xr = x suatu jenis x100%
jumlah x seluruh jenis pakan




4. Pembuatan diagram profil
Suatu sketsa dari profil vegetasi sepanjang garis transek sangat berguna untuk penelitian satwa liar, terutama untuk penelitian burung dan primata yang menempati suatu habitat hutan. Komposisi dai suatu profil habitat sangat bermanfaat untuk membuat suatu kesimpulan tentang hubungan antara derajat kelimpahan satwa liar dengan tipe habitatnya.
Untuk kepentingan analisis habitat satwa liar, vegetasi dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelas utama, misalnya (g) rumput, (Se) semak, dan (T) pohon. Gabungan antara ketiga kelas utama dapat mengguanakan simbol (g, Se), (Se, T), (g, T) dan seterusnya. Berdasarkan hasil yang diperoleh dari garis transek dapat diketahui kondisi kondisi kelas vegetasi dari daerah penelitian, semak dapat diklasifikasikan sebagai campuran berbagai tumbuhan yang tingginya kurang dari 2 m (Eisenberg dan Lockhart, 1972). Ukuran petak contoh untuk pemetaan diagram profil suatu habitat disesuaikan dengan peneliti dan kondisi lingkungan tempat dilakukan penelitian.

Gambar diagram profil vegetasi di P. Bawean




Tallysheet
Penentuan Tipe Habitat

Tipe Habitat : _______________________________
Nomor plot : _______________________________

Faktor-faktor lingkungan :
Faktor lingkungan Waktu Ulangan pada titik Rerata
1 2 3
Kelerengan
Suhu Pagi
Siang Sore
Kelembaban Pagi
Siang Sore
Arah angin Pagi
Siang Sore
Kecepatan angin Pagi
Siang Sore


Hal-hal lain :
1. Sumber air :

2. Kerusakan habitat :

3. Aktivitas manusia :

4. Predator/kompetitor :

5. Hal-hal interest :

Tallysheet
Analisis Vegetasi dan Pembuatan Profil Pohon
Tipe Habitat : _______________________________
Nomor plot : _______________________________

No. Jenis Pohon Posisi Pohon Diamtr
(cm) TT
(m) TBBC
(m) LT
(m) Ket
X Y






















ACARA III
MENGHITUNG NICHE SATWA LIAR

Tujuan:
Mengetahui relung (niche) pakan yang digunakan oleh satwa liar.
Dasar teori:
Habitat suatu organisme adalah tempat organisme itu hidup, atau tempat ke mana seseorang harus pergi untuk menemukannya. Sedangkan niche (relung) ekologi merupakan istilah yang lebih luas lagi artinya tidak hanya ruang fisik yang diduduki organisme itu, tetapi juga peranan fungsionalnya di dalam masyarakatnya (misal: posisi trofik) serta posisinya dalam kondisi lingkungan tempat tinggalnya dan keadaan lain dari keberadaannya itu. Ketiga aspek relung ekologi itu dapat dikatakan sebagai relung atau ruangan habitat, relung trofik dan relung multidimensi atau hypervolume. Oleh karena itu relung ekologi sesuatu organisme tidak hanya tergantung pada dimana dia hidup tetapi juga apa yang dia perbuat (bagaimana dia merubah energi, bersikap atau berkelakuan, tanggap terhadap dan mengubah lingkungan fisik serta abiotiknya), dan bagaimana jenis lain menjadi kendala baginya. Hutchinson (1957) telah membedakan antara niche pokok (fundamental niche) dengan niche yang sesungguhnya (relized niche). Niche pokok didefinisikan sebagai sekelompok kondisi-kondisi fisik yang memunkinkan populasi masih dapat hidup. Sedangkan niche sesungguhnya didefinisikan sebagai sekelompok kondisi-kondisi fisik yang ditempati oleh organisme-organisme tertenu secara bersamaan.
Dimensi-dimensi n pada niche pokok pada niche pokok menentukan kondisi-kondisi yang menyababkan organisme-organisme dapat berinteraksi tetapi tidak menentukan bentuk, kekuatan tau arah interaksi. Dua faktor utama yang menetukan bentuk interaksi dalam populasi adalah kebutuhan fisiologis tiap-tiap individu dan ukuran relatifnya. Empat tipe pokok dari interaksi diantara populasi sudah diketahui yaitu: kompetisi, predasi, parasitisme dan simbiosis.
Agar terjadi interaksi antar organisme yang meliputi kompetisi, predasi, parasitisme dan simbiosis harusnya ada tumpang tidih dalam niche. Pada kasus simbion, satu atau semua partisipan mengubah lingkungan dengan cara membuat kondisi dalam kisaran kritis dari kisaran-kisaran kritis partisipan yang lain. Untuk kompetitor, predator dan mangsanya harus mempunyai kecocokan dengan parameter niche agar terjadi interaksi antar organisme, sedikitnya selama waktu interaksi.
Menghitung niche overlap
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengetahui niche yang digunakan oleh suatu species adalah dengan mengetahui pemanfaatan relatif sumberdaya oleh masing-masing species terhadap sumberdaya yang tersedia. Suatu species dapat memisahkan diri dan meminimalkan kompetisi dengan menjadi species specialist, dan sebaliknya suatu species juga dapat menjadi generalist dan mempunyai niche overlap yang relatif tinggi dan berkompetisi dengan species lain. Beberapa tumbuhan dan hewan dapat menjadi lebih khusus daripada yang lain, dan menghitung ukuran niche berarti juga menghitung kekhususan tersebut secara kuatitatif. Salah satu cara yang dapat digunankan untuk menghitung niche overlap adalah dengan menggunakan Ivlev’s electivity index (Malenky dan Stiles, 1991; McNeilage, 2001; Milton,1980). Index electivity sering digunakan untuk mengetahui selektivitas/preference pakan oleh suatu species dengan menggunakan rumus:
Ivlev’s electivity index = (r1 - n1)
(r1 + n1)
Dimana : r1= proporsi pakan yang dimakan
n1= proporsi pakan dalam home range
Index ini memiliki nilai antara -1 sampai dengan 1, dimana nilai >0 mengidikasikan seleksi positif dari jenis pakan, dan <0 mengindikasikan seleksi penolakan dari jenis pakan.

Prosedur pengambilan data:
1. Data jenis pakan yang dikonsumsi dapat diambil melalui faecal analisis, sehingga diketahui INP seperti yang telah diterangkan pada acara II sebelumnya.
2. Data jenis pakan yang tersedia dalam home range diambil dengan melakukan inventarisasi jenis vegetasi pakan yang terdapat dalam home range, secara lengkap langkah pengambilan data vegetasi telah dijelaskan pada acara II.
3. Setelah semua data terkumpul kemudian dilakukan rekap pada tallysheet, dan dianalisis dengan menggunakan rumus yang telah disebutkan diatas.






Tallysheet
Niche Overlap

Tipe Habitat : _______________________________
Tipe species : _______________________________

Sample Jenis Satwa Jenis Pakan Keterangan

Diperut







Home range














ACARA IV
STUDI PRILAKU SATWA


Tujuan:
Mengetahui prilaku satwa liar di habitat alaminya
Dasar teori:
Ilmu pengetahuan tentang prilaku satwa liar sebenarnya merupakan ilmu yang sudah dikenal oleh manusia sejak jaman purba, semenjak manusia berinteraksi dengan satwa liar. Manusia purba hidup dengan cara berburu satwa liar. Guna memperoleh keberhasilan dalam berburu, maka para pemburu harus tahu dan paham tentang kebiasaan satwa yang diburunya, sehingga pemburu yang paling ahli biasanya dia tahu betul seluk beluk mengenai satwa buruannya. Keahlian berburu ini kemudian diturunkan dengan cara menstranfer informasi tersebut pada anak keturunannya. Pada jaman sekarang ilmu pengetahuan prilaku satwa sangat bermanfaat sekali di dalam pengelolaan satwa liar dan satwa domestikasi, karena dengan mengetahui prilaku satwa maka pihak pengelola dapat mengetahui kecenderungan dari perkembangan populasi dan interaksinya dengan habitatnya. Selain itu dengan adanya ilmu perilaku satwa pihak pengelola dapat menjawab pertanyaan mengenai bagaimana satwa menanggapi stimuli di lingkungannya dan mengapa satwa berperilaku demikian.
Pada dasarnya ilmu ada dua prilaku dasar pada satwa liar, yakni : insting dan belajar. Insting memiliki beberapa karakteristik. Pertama, insting dilakukan oleh sebagian besar dari suatu populasi species. Kedua, insting merupakan pola perilaku bawaan yang akan tampak dengan stimuli yang relatif sederhana. Belajar dapat didefinisikan sebagai indera terkasar sebagai perubahan adaptif dalam perilaku yang dihasilkan dari pengalaman. Pola perilaku satwa tersebut sangat berguna untuk membantu satwa untuk memperoleh makan atau air, menghindari musuh, membangun tempat tinggal, menemukan pasangan, atau melindungi keturunannya. Meskipun begitu, pola perilaku sangat berhubungan erat dengan masalah ekologi. Sebagai contoh, satwa yang hidup di habitat dengan daya dukung yang baik akan memiliki perilaku makan yang berbeda dengan satwa yang hidup di habitat dengan daya dukung yang rendah yang bisa makan apa saja untuk bertahan hidup.

Scan Sampling
Scan sampling merupakan bentuk sederhana dari instantaneous sampling yang didalamnya beberada individu diamati dengan point waktu yang telah ditentukan dan perilaku yang ditetapkan untuk diamati. Salah satu kegunaan dari scan sampling adalah untuk mengestimasi persen waktu yang digunakan individu species dalam berbagai aktifitas. Hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan metode ini adalah dalam penentuan rating waktu dan frekuensi dalam sifat yang diamati pada saat mulai dan mengakhiri.
Alat :
- Binokuler
- Kamera
- Handycam
- Stopwatch
- Tallysheet
Bahan :
- Individu satwa yang diamati
- Habitat satwa yang diamati.















Tallysheet
Scan Sampling

Tanggal Pengamatan :
Species :

Durasi
waktu Individu A Individu B Individu C
perilaku lokasi perilaku lokasi perilaku lokasi























ACARA V
Pengenalan vortex
(DATA SEKUNDER UNTUK SIMULASI
DINAMIKA POPULASI SATWA LIAR)

Tujuan :
1. Mahasiswa mengetahui data yang dibutuhkan untuk menyusun suatu simulasi dinamika populasi dengan program vortex.
2. Mahasiswa mampu mengumpulkan data sekunder dan melakukan penaksiran terhadap data yang tidak lengkap.
Dasar Teori
Dinamika populasi adalah kajian mengenai perubahan jumlah dan komposisi individu dalam suatu populasi beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Kajian ini diperlukan untuk : menaksir jumlah satwa yang boleh dipanen, mengetahui bagaimana faktor lingkungan mempengaruhi populasi, memprediksikan kemungkinan ancaman kepunahan suatu jenis, memahami bagaimana suatu populasi berpengaruh terhadap populasi yang lain dan menggunakan populasi sebagai indikator kualitas lingkungan.
Komponen dinamika populasi terdir atas 5 bagian yang saling berkaitan, yaitu : kelahiran, kematian, sex ratio, struktur umur, dan dispersal. Komponen tersebut dipengaruhi oleh habitat dimana satwa liar berada. Kelahiran (birth rate) merupakan jumlah individu yang lahir atau menetas dalam periode waktu tertentu. Birth rate ini sering dinyatakan dalam fecundity, yaitu jumlah anakan yang dilahirkan tiap induk betina dalam periode waktu tertentu. Fecundity / periode waktu =



Faktor-faktor yang mempengaruhi birth rate diantaranya : ketersediaan pakan dan nutrisi menentukan kecukupan energi individu untuk berreproduksi, umur efektif berreproduksi, interval antar kelahiran dan rata-rata jumlah anakan tiap kelahiran dan sex rationya.
Kematian (mortality) merupakan jumlah satwa yang mati tiap periode waktu dibagi dengan jumlah satwa yang hidup diawal periode waktu tersebut. Mortality / periode waktu =

Kebalikan dari mortality adalah survival, yakni jumlah anakan yang hidup selama periode waktu tertentu, dibandingkan dengan jumlah anakan yang lahir. Longetivity adalah lamanya hidup (umur) suatu individu satwa. Faktor yang `mempengaruhi kematian suatu satwa diantaranya : penyakit, predator, paceklik, bencana alam, iklim.
Struktur umur mempengaruhi pertumbuhan populasi. Struktur umur didefinisikan sebagai jumlah individu pada masing-masing kelas umur dalam suatu populasi. Tidak ada ketentuan mengenai kelas umur, beberapa contoh kelas umur adalah : anakan dan dewasa (burung dan reptil), juvenil, sub adult dan adult (mamalia).
Sex ratio adalah perbandingan anatar jumlah individu jantan dengan jumlah individu betina dalam suatu populasi. Sex ratio mempengaruhi dinamika populasi berkaitan dengan mating system yaitu sistem sosial suatu jenis satwa dalam reproduksi. Mating system ini dibedakan menjadi 3 yaitu : monogamy (satu jantan hanya kawin dengan satu betina), polyginy (satu jantan kawin dengan lebih dari satu betina) dan polyandry (satu betina kawin dengan lebih dari satu jantan). Pada jenis monogamy, sex ratio yang tidak seimbang (tidak sama dengan satu) akan memungkinkan terjadinya penurunan pertumbuhan populasi, karena ada individu dewasa yang tidak kebagian pasangan. Pada jenis polyginy, fecundity merupakan fungsi jumlah jantan dan betina masak kawin. Contohnya : populasi dengan sex ratio 1: 4 akan menghasilkan anak 1.6 kali lebih banyak daripada populasi dengan sex ratio 1:1.
Dispersal adalah pergerakan satwa dari daerah kelahirannya ke daerah lain tempat ia hidup dan kawin. Dispersal merupakan mekanisme untuk keberadaan suatu jenis. Perubahan lingkungan atau habitat akan memaksa satwa untuk bergerak ke daerah lain membentuk koloni baru agar bisa bertahan hidup. Pembentukan koloni baru ini akan mencegah terjadinya imbreeding sehingga akan memperbaiki keturunannya. Dispersal dapat terjadi juga karena dilakukan oleh manusia.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan jumlah populasi dapat dikelompokkan menjadi dua : density-dependent dan density independent. Density dependent faktor merupakan faktor-faktor yang tergantung pada density (jumlah individu per unit area) yang mempengaruhi perubahan jumlah populasi. Contohnya : peningkatan kepadatan populasi menyebabkan penurunan ketersediaan sumberdaya untuk masing-masing individu, akibat selanjutnya kesehatan individu menurun kualitasnya. Hal ini bisa menyebabkan peningkatan kematian dan penurunan kelahiran. Maka faktor-faktor yang mempengaruhi kematian (penyakit, kekeringan, predasi) merupakan faktor density dependent terhadap kematian. Sedangkan density independen factors merupakan faktor-faktor yang tidak berkaitan dengan kepadatan populasi. Contohnya : iklim, bencana alam dan sebagainya.
Secara teoritis apabila tidak ada pembatas ketersediaan sumberdaya, pertumbuhan populasi akan mencapai laju maksimum yang disebut dengan intrinsic rate of increase (r). Secara matematis pertumbuhan populasi dirumuskan sebagai berikut :



N = jumlah pupulasi
t = waktu
r = laju pertumbuhan
e = log normal = 2.71828
d = deferensial
Pada kenyataannya, di lapangan sering terjadi keterbatasan ketersediaan sumberdaya. Ketersediaan sumberdaya ini didekati dengan parameter Carrying capacity (K) yaitu jumlah individu satwa yang bisa ditampung pada suatu habitat. Keadaan ini diintroduksikan ke dalam persamaan matematis diatas sehingga menjadi :

Sepanjang waktu evolusi, proses seleksi alam menghasilkan jenis-jenis yang mempunyai strategi berbeda dalammengatasi kondisi lingkungannya. Berdasar perbedaan ini dilompokkan jenis-jenis K-selected species dan r-selected species. K-selected species biasanya lebih lambat merespon terhadap perubahan, baik karena alam maupun praktek pengelolaan manusia, mempunyai laju pertumbuhan populasi yang rendah, laju kematian juvenil yang rendah, laju reproduksi yang rendah, berumur panjang dan laju dispersalnya rendah. r-selected species biasanya mempunyai laju pertumbuhan populasi yanng tinggi dan berubah-ubah sepanjang waktu, laju kematian anakan tinggi, kemampuan dispersalnya tinggi, berumur pendek. Contohnya adalah : tikus dan binatang pengerat lain.

Prosedur Pelaksanaan
Pada praktikum acara ini, akan disimulasikan suatu model pertumbuhan populasi berdasar parameter-parameter yang telah disebutkan diatas dengan menggunakan software VORTEX. Hal yang perlu diingat bahwa layaknya software yang lain, berlaku asas garbage in garbage out (jika yang masuk sampah maka yang keluar juga sampah). Sehingga pada praktikum acara ini kelayakan data sangat diperhatikan. Interpretasi data sangat dibutuhkan sebagai pendekatan terhadap besaran paramater yang dibutuhkan. Cara kerjanya adalah sebagai berikut :
1. Mempelajari dan mengidentifikasi data yang dibutuhkan untuk simulasi pertumbuhan populasi.
2. Melakukan koordinasi tiap kelompok untuk mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk simulasi pertumbuhan populasi suatu jenis.
3. Menginterpretasikan data untuk melakukan penaksiran besaran parameter yang dibutuhkan.







Lampiran : data yang dibutuhkan untuk simulasi dinamika populasi dengan software VORTEX.
NO Uraian data Jenis data Keterangan
primer sekunder
1 Migration rates
2 Imbreding depression
3 Correlation Environmental Variation reproduction and survival
4 Catastrophes
5 Monogamus / Polygynous
7 Age males/females begin breeding
8 Maximum age
9 Sex ratio
10 Maximum number of young per litter
11 Reproduction density dependent
12 Mortalitas males/females
13 Probability of catasthropes
14 Breeding pool
15 Age distribution
16 Carrying capacity
17 Harvesting
18 Supplement






Data yang dibutuhkan bisa di eksplorasi dari berbagai sumber diantaranya :
1. Buku, artikel, paper, jurnal, laporan penelitian dan lainnya
2. Informasi non formal, misalnya : interview dengan pakar, pemerhati atau pedagang/penangkar.
3. Korespondensi dengan lembaga lain, misalnya LSM, lemlit, disarankan mencoba alternatif lewat situs-situs di internet.
4. Beberapa lembaga di yogyakarta dan sekitar yang diperkirakan mempunyai data :
• Kebun Binatang Gembira Loka
• Unit KSDA DIY
• Perpustakaan Fakultas dan Universitas
• LSM : Kutilang, LSKHL, Matalabiogama, Mapala Sylvagama
• Situs internet : bisa di browse lewat search engine.
• Pedagang burung



















Keterangan data yang dibutuhkan :
Migration rates Laju migrasi; besaran yang dimaksudkan disini adalah probabilitas (dalam %) suatu satwa untuk berpindah (migrasi) ke populasi lain. Diasumsikan ada beberapa populasi yang terpisah (metapopulasi).

Inbreeding depression Pengaruh penurunan kemampuan survival pada keturunan hasil perkawinan kerabat dekat. Terdapat pada jenis-jenis tertentu. Terdapat 2 model : Recessive lethal dan Heterosis. Recessive lethal memodelkan dengan memberikan masing-masing induk gen resesif letal dan gen dominan non letal. Jika anakan mendapatkan 2 gen resesif letal maka ia dianggap mati. Model heterosis memungkinkan user memasukkan angka koefisien letal.

Correlation Environmental Variation (EV) reproduction with EV survival Variasi lingkungan bisa mempengaruhi reproduksi dan survival baik secara bersama-sama atau terpisah. Apakah ada kemungkinan variasi lingkungan mempengaruhi reproduksi bersama-sama (simultan) dengan survival ?
catasthropes Bencana alam; variasi lingkungan ekstrem yang bisa berpengaruh terhadap reproduksi dan survival. Jenisnya bisa berupa habitat destruction, banjir, kebakaran, wabah penyakit, kekeringan.
Monogamus/ Polygynous Sistem perkawinan satwa. Monogamus : satu jantan satu betina, polygynous : satu jantan banyak betina.
Agemales/females begin breeding Umur betina atau jantan pada saat anakan yang pertama lahir.

Maximum age Umur satwa pada saat terakhir kali kawin, bukan umur hidupnya.
Sex ratio Rata-rata perbandingan antara jumlah anakan jantan dengan betina pada waktu lahir.
Maximum number of young per litter Jumlah anakan terbanyak yang dilahirkan induk dalam setiap musim perkawinan. Juga diperlukan data mengenai peluang lahirnya anakan dalam jumlah tertentu dan standar deviasinya.
Reproduction density dependent Perubahan laju reproduksi berkait dengan kepadatan satwa dalam suatu populasi, bisa disebabkan karena sumberdaya atau pasangan perkawinan.
Mortalitas males/females Laju kematian individu (%) sebelum mencapai dewasa pada beberapa kelas umur. Penyimpangan laju kematian ini karena perubahan lingkungan dicakup dalam Standar deviasinya.
Probability of catasthropes Peluang terjadinya masing-masing jenis bencana alam tiap tahun (%) beserta dengan tingkat keparahan pengaruhnya terhadap reproduksi dan survival. Tingkat keparahan dinyatakan dalam faktor pengali keparahan akibatnya. Misalnya : 0.75 berarti bahwa apabila bencana alam terjadi, pengaruhnya pada satwa sejumlah 25 %.
Breeding pool Daerah dimana satwa dewasa siap kawin
Age distribution Distrubusi populasi dalam masing-masing kelas umur. Jumlah satwa bisa merata pada semua kelas umur, ataupun masing-masing kelas umur mempunyai jumlah tertentu pada awal dinamika populasi.
Carrying capacity Daya dukung; jumlah maksimum individu yang mampu didukung oleh habitatnya. Bisa berubah karena variasi lingkungan, perubahan ini dicakup dalam standar deviasinya (dinyatakan dalam jumlah deviasi individunya). Apabila perubahan bisa diproyeksikan, dalam berapa tahun diproyeksikan akan terjadi kenaikan atau penurunan dan berapa persen perubahan itu ?
Harvesting Pemanenan dapat dilakukan. Informasi mengenai pemanenan yang dibutuhkan yaitu : tahun ke berapa pemanen dilakukan dan diakhiri dihitung dari awal simulasi, berapa interval tahun antar pemanenan, berapa jumlah jantan/betina yang dipanen pada masing-masing klas umur dan pada umur dewasa.
Supplement Penambahan jumlah individu dalam ke suatu populasi. Informasi yang dibutuhkan : tahun pertama dan terakhir penambahan, interval waktu penambahan, jumlah individu tambahan pada masing-masing kelas umur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar